Rabu, 18 November 2015

My Culture Shock Experience

Culture shock. Ada beberapa culture shock yang pernah saya alami. Maklum dulu ketika saya masih SD ayah saya sering dipindah tugaskan dari satu tempat ke tempat lainnya, bahkan sampai ke luar pulau. Biasanya sih ketika saya berada di tempat baru saya tidak terlalu kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan. Tapi ada satu pengalaman culture shock yang paling mendalam di hidup saya, yaitu ketika saya dan keluarga pindah ke Wawondula, Sulawesi Selatan.

       Ketika itu saya kelas 3 SD semester dua, dan sebentar lagi naik ke kelas 4, mendapat kabar kalau ayah saya dipindahkan kerja dari Irian Jaya ke Soroako Sulawesi Selatan. Sebenarnya saya tidak mau pindah karena saya menyukai lingkungan saya saat itu dan tidak dapat membayangkan bagaimana kehidupan saya nanti di tempat baru. Tapi ya namanya bocah masih tinggal sama orang tua mau  tidak mau saya ikut, begitu juga dengan kedua adik saya. Akhirnya dengan berat hati saya pindah.

       Setelah perjalanan yang amat panjang akhirnya saya dan keluarga tiba di Wowundula. Soroako tempat ayah bekerja memang berbeda daerah, namun masih daerah yang berdekatan. Di sana saya dan adik didaftarkan di SD negeri paling unggulan yang ada di daerah itu. Saya begitu terkejut waktu hari pertama sekolah, karena hanya saya dan adik saya yang mengenakan jilbab ke sekolah. Dan ternyata saya dan adik saya adalah dua murid pertama yang mengenakan jilbab di sekolah itu. Tidak heran banyak pasang mata yang mungkin “aneh” melihat saya dan adik. Memang di Wawondula ini umat non islam lebih dominan daripada agama Islam.

       Kami sangat risih dengan banyak pandangan aneh, bukan hanya dari murid tetapi dari para guru. Hanya beberapa guru yang tidak memandang kami seperti itu. Pernah suatu hari ketika saya dan semua anak kelas empat sedang berlatih paduan suara. Saya hanya bisa diam dan terbata-bata mengikuti teman-teman saya bernyanyi karena saya memang belum tau lirik lagu itu. Tiba-tiba bu guru yang mengawasi latihan tersebut membentak “ Hei kamu yang pake jilbab! Jangan diem aja!” dan itu sukses membuat semua mata melihat kearah saya. Menurut saya tidak pantas membentak seperti itu, apalagi dia tahu kalau saya adalah murid pindahan. Dari awal saya bersekolah di SD itu beliau selalu melihat saya dan adik saya dengan sinis. Mungkin karena beliau kurang suka dengan saya karena saya mengenakan jibab. Maklum dia juga berbeda agama dengan saya, entahlah. Hal itu sukses membuat saya cukup shock dan membuat saya menjadi seorang anak yang sangat pendiam bahkan beberapa hari tak ingin sekolah.

       Saat dulu masih berada di sekolah yang lama, saya sering memakan bekal dengan teman-teman kelas. Tapi tidak dengan di sekolah saya saat itu. Bukannya saya tidak menyukai teman-teman saya, tetapi saya merasa mual karena banyak teman saya membawa bekal dengan daging babi sebagai lauknya. Pernah saya hampir ikut mencicipinya, kalau saja temen saya itu tidak bilang pada waktu yang tepat sebelum daging itu masuk ke mulut. Hal itu juga sukses membuat saya jarang makan ketika di sekolah dan memilih untuk berdiam diri selama istirahat sekolah.
       
       Pernah saya mengadu bahkan sampai menangis meminta ke orang tua untuk kembali ke daerah lama. Saya tak tahan dengan lingkungan seperti ini, dirumah pun tidak punya teman untuk diajak bermain. Namun saya tidak bisa berbuat apa-apa. Orang tua saya dengan sabar menyemangati saya agar tetap tegar menghadapi lingkungan yang menurut saya sangat baru dan asing. Itu membuat saya sakit-sakitan selama berada disana karena jarang makan dan selalu menangis. Tapi lambat laun saya mulai bisa terbiasa dengan lingkungan disini. Saya mulai mendapatkan banyak teman walaupun rata-rata mereka berbeda keyakinan. Bersyukur karena mereka sangat baik dan menerima saya menjadi bagian mereka.
      
       Pengalaman culture shock itu membuat saya menjadi pribadi yang lebih pemberani dan tegar dalam menghadapi lingkungan baru, seperti sekarang ketika saya kuliah. Dunia perkuliahan menurut saya sangat keras dan menantang melebihi pengalaman saya ketika dulu tinggal di Wawondula. Yah walaupun terkadang saya merasa terintimidasi, tapi itu adalah bagian hidup yang harus saya hadapi untuk menjadi pribadi yang lebih dewasa.

0 komentar:

Posting Komentar